Alquran dan Upaya Merayakan Kedangkalan
Di kolom status Wotsap-ku tampak beberapa teman mengunggah foto
yang sama. Aku tidak tertarik untuk melihat. Tapi, sejenak kemudian, jumlah
yang beberapa tadi berubah menjadi banyak. Ini pasti perayaan kelas, batinku,
jika bukan ada yang mati. Eh atau mungkin lowongan kerja.
Gara-gara banyak, karena aku masih tinggal di lingkaran yang
logikanya kerumunan sehingga bawah sadarku ikut terseret, akhirnya otot-otot
tanganku dengan tanpa kubimbing membuka status salah satu dari
"mereka".
Dan ternyata imajinasiku berbuah. Itu adalah foto perayaan.
Perayaan Alquran, eh penghafal Alquran maksud aing. Jadi, barangkali kisahnya begini: salah satu dari teman
mereka sudah selesai menghafal Alquran dan kemudian mereka, selaku sahabat
sejati, merayakannya dengan mengunggah foto yang bersangkutan. Kenapa
dirayakan? Ya sebab Alquran sendiri, sejauh yang kutangkap dari mereka sih,
menjanjikan surga bagi para penghafalnya. Surga, men, surga. Amerika yang liberal itu saja bergeming saat
berhadapan dengan sosok-sosok yang berani mati demi surga.
Pun, sensitifku, mengapa hari ini berjubel program-program hafiz
di televisi kita adalah disebabkan hal yang serupa. Terlepas dari betapa
gemesinnya program itu loh ya, seperti pernah ditulis Mas Fathur Razak di
Islami.co satu tahun silam.
Oke, kembali ke asal, satu sisi memang itu patut untuk dirayakan.
Pertama, sebab mereka adalah sahabat sejatinya. Yang namanya sejati, secuil
pencapain sahabatnya saja harus dipestakan dong dan apalagi ini keberhasilan
yang adikodrati. Kedua, lantaran mereka berada di jalur ideologi yang sama:
perjuangan menghafal Alquran sama dengan perjuangan merangsek kehidupan yang
berkelas di akhirat. Untuk yang kedua, aku menjangkarkan asumsiku pada teori
moral dari kitab Alaala
Lirboyo-Kediri bahwa untuk tahu seperti apa seseorang itu kita cukup melihat
teman duduknya. Utas yang indah.
Meski demikian, pada sisi lain, perayaan terhadap penghafal
Alquran membuatku pasi. Pucat ibarat laki-laki yang pobia dengan perempuan
seperti yang ditulis dalam esainya, eh cerpen, mbak Linda minggu kemarin di
Kompas.
Bukan apa-apa sih sebetulnya (bukan apa-apa kok sampai pucat, hu),
cuma aku kepikiran sama teman-teman yang lain, yang secara praksis keseharian
mereka sudah membumikan nilai Alquran. Namun, tidak ada satu pun yang memberinya
apresiasi, termasuk orang tuanya.
Absennya apresiasi di muka bukan tanpa sebab. Ini berkaitan dengan
konsumsi publik (sumber pengetahuan) baik di level televisi nasional ataupun
status personal media sosial. Dominannya informasi yang beredar di masyarakat
tentang penghafal Alquran yang keren telah membentuk pola pikir sekaligus pola
tindak mereka untuk hanya mengagumi para penghafal dan mengabaikan pihak-pihak
yang sedang berupaya membumikan Alquran.
Akibatnya, anak-anak dan pemuda hari ini di Indonesia lebih
terfokus ke arah hafalan ketimbang daya berpikir-berperilaku kritis-qurani.
Pun, ini yang penting dirayakan, tidak sedikit dari teman-teman mahasiswa turut
berada di jalur tersebut, tak terkecuali mahasiswa prodi Studi Alquran. Studi
loh, ya.
Antara Islam
sebagai norma dan sebagai Peradaban
Jika dipetakan, barangkali teman-teman yang mengunggah foto tadi
masuk--untuk tidak menyebut terjebak--dalam kategori Islam sebagai norma,
meminjam klasifikasi Bernard Lewis. Mereka yang berada di jalur ini cenderung
menutup mata terhadap keseharian masyarakat Muslim dan menjadikan apa pun
berkenaan dengan norma Islam (Alquran) yang berupa simbol sebagai segalanya.
Sisi baiknya, dengan jalur itu mungkin mereka bisa melestarikan
tradisi yang selama ini ada di lingkarannya. Tetapi, sisi lucunya, mereka
rentan terjebak dalam eksklusivitas yang dangkal dan prasangka mapan bahwa
bagaimanapun Alquran lebih luhur untuk dihafal ketimbang dibiasakan dalam pikir
dan praktik.
Ah terlalu panjang. Bangsat. Terlalu dosa juga. Meski kurasa
mereka sudah turut berkontribusi dalam pembentukan opini lugu publik bahwa
prestasi anak bergantung pada hafalan Alquran melalui statusnya, tapi tetap
sajalah mereka sedang memperjuangkan nilai yang dipegangnya. Nilai tidak bisa
dijulidin, cuk! Hash! Apalagi ini Alquran. Di situ jelas tertulis, Wa amma bini'mati rabbika fa haddis, Kalau kamu merasa senang, berbagilah. Mereka
itu dalam rangka mengamalkan ayat itu, Su.
Oleh: Dosto Y.
Comments
Post a Comment