Petualangan Cyber Mi’raj: Menembus Dimensi Ruang dan Waktu Melalui Fenomena Virtual Reality

Oleh: Iqomah Richtig*

Pra-petualangan

Perkembangan teknologi telah membawa perubahan yang signifikan pada kehidupan umat manusia. Perubahan ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali dalam konteks keagamaan. Salah satu fenomena menarik yang muncul belakangan ini adalah penggunaan teknologi Virtual Reality (VR) sebagai sebuah media yang inovatif untuk menggambarkan kisah-kisah perjalanan para nabi yang ditawarkan oleh VR Journey Indonesia, sebuah jasa penyedia wahana VR yang bertujuan mengajarkan sejarah Islam dengan cara yang menyenangkan. Wahana VR ini memungkinkan pengguna berpetualang, merasakan dan menyaksikan kisah-kisah tersebut dengan cara yang imersif. Dengan lingkungan buatan secara digital dan animasi yang menarik, membuat seolah-olah pengguna diajak berinteraksi di tempat dan waktu yang sama dengan para nabi.

Iqo si Petualang:

Petualanganku:

Pada akhir Juli lalu, karena penasaran dan kebetulan ada agenda di Jogja, saya dan seorang kawan menjadikan Wahana VR di Real Masjid masuk dalam daftar yang wajib kami kunjungi. Senin malam selepas Isya’ yang sunyi, kami sampai di depan pintu wahana. Disambut oleh adik-adik volunteer yang mengaku sedang menjalani bootcamp untuk mengisi liburan mereka supaya tetap salihah. Mereka mempersilahkan dan mengantarkan kami ke wahana yang dituju. Di tempat itu, sembari menunggu para pengurus menyiapkan mesin, kami melihat-lihat sekitar dan sesekali mengobrol dengan mereka. Terdapat tiga buah mesin dengan masing-masing terpasang sepasang kursi kapsul yang setiapnya hanya bisa memutarkan satu judul kisah nabi. VR yang ditawarkan ada dua jenis, yakni VR 3D dibanderol seharga Rp. 60.000 dan VR 5D dengan harga dua kali lipatnya. Perbedaan keduanya terletak pada fasilitas kursi kapsul yang ditujukan hanya untuk pengguna VR 5D. Harga tersebut berlaku untuk satu judul film.

Gambar 1 Kiri: Pintu menuju wahana. Kanan: Kursi kapsul untuk VR 5D. Dok. Pribadi.

Setelah semuanya siap, kami diarahkan memilih menu judul kisah para nabi pada sebuah mesin layar sentuh. Pilihan kami jatuh pada kisah “Isra’ Mi’raj”. Kami dipersilahkan naik ke kursi kapsul. Lalu, dibantu mengenakan headset VR dan diberi arahan:

“Sudah muncul garis di tengahnya, Kak?”

“Sudah”, jawab kawanku.

“Belum. Masih hitam pekat. Kosong. Kayak pikiranku” ujarku mencoba berkelakar.

“Sini kak, coba aku benerin dulu. Nah, udah. Coba dipasang lagi”.

“Belum nih. Masih sama.”, timpalku.

“Yahh, mungkin kakak belum sholat” candanya.

“Lah emang, kan kita sedang “M”, Mu-Mu-Mu Musafir, Jama’ takhir hehehe”.

Setelah diotak-atik beberapa menit, garis tengah yang dimaksud pun terbit pada headset VR yang saya kenakan. Petualangan virtual pun dimulai. Di dalam dunia metaverse itu, saya disambut oleh robot virtual, ia memberikan arahan-arahan singkat sesaat sebelum melepaskan ‘pesawat’ yang menembus dimensi ruang dan waktu. Dalam scene awal, saya dipertemukan dan melewati sekelompok musuh-musuh nabi Muhammad yang melemparinya dengan batu. Wujud Rasulullah dalam kisah Isra’ Mi’raj virtual ini sama sekali tidak diwujudkan atau ditampakkan secara fisik. Bagian tubuhnya pun tidak ada yang ditunjukkan. Selain soal etika, wahana ini didesain supaya pengguna benar-benar bisa merasakan seakan-akan mereka tepat berada di samping Rasul untuk menyaksikan perjuangannya mendakwahkan Islam.

Singkat cerita, saya dipertemukan dengan Buraq, mengendarainya dan diajak berkeliling menuju langit ke-tujuh serta bertemu dengan para nabi lainnya yang juga tidak divisualisasikan. Selama berpetualang, tidak hanya disajikan tampilan visual, efek angin dan aroma-aroma pun turut dihadirkan. Penyajian yang sangat sinematik ini tidak lepas dari produsernya sepasang suami-istri yang berlatarbelakang filmmaker[1] yang membuat visualisasinya cukup dramatis. Maka tak mengejutkan apabila sensasi naik dan turun berlapis-lapis langit dengan kecepatan super membuat saya merasa seperti menaiki wahana roller coaster. Sesaat melamban, tenang dan sesaat terbang secara kilat. Tiba-tiba layar dalam headset VR kami berhenti. Dalam keadaan masih menggunakan headset VR, dari samping kanan, kawan saya bersuara:

“Eh, eh, ini kok mati”

“Sudah habis, Kak” sahut salah satu pengurus.

“Loh, emang ini sudah berjalan berapa menit?”

“Delapan menit, Kak”

“Hah? Delapan menit?” jawabnya terkejut seakan tak terima bahwa petualangannya bersama nabi harus berakhir saat sudah sayang-sayangnya  seru-serunya.

Tak terasa petualangan bersama nabi yang sangat singkat itu menyisakan sensasi sedikit pusing dan mual pada tubuh kami. Ini karena menurut penuturan pengurus, sensasi itu efek dari petualangan kami naik-turun langit dan melalui perjalanan panjang yang ditempuh secepat kilat. Lanjutnya, ternyata hal ini yang juga menjadi pertimbangan developer VR Journey untuk memperpadat menjadi 8 menit. Tidak lain tujuannya untuk meminimalisir efek yang ditimbulkan pasca petualangan yang cukup seru ini.

Gambar 2 Kiri: Menu judul film. Kanan: Berpetualang VR 5D. Dok. Pribadi

Pasca Petualangan:

Setelah mengentaskan diri dari perjalanan virtual ini, saya terbayang-bayang karya terbaru Pak Bunt berjudul “Islamic Algorithms: Online Influence in the Muslim Metaverse” yang---sampai saat ini masih saya cicil baca- bahwa fenomena VR Journey ini sejalan dengan diskusi akademik yang belakangan terus berkembang terkait Artificial Intelligence (AI) dan Digital Islam. Teknologi dimanfaatkan untuk memperkaya pengalaman keagamaan dan menyesuaikan dengan kebutuhan umat Muslim di era digital. Buku tersebut memberikan wawasan bagaimana teknologi digital, khususnya VR dan AI memengaruhi cara umat muslim menjalani kehidupan spiritual mereka di dunia maya.

Petualangan VR Journey menawarkan pengalaman mendalam bagi penggunanya, khususnya muslim dalam memahami dan merasakan kisah hidup Rasulullah dan para nabi lainnya. Dalam petualangan tersebut, pengguna dapat ‘berada’ di berbagai lokasi penting dalam kehidupan Rasulullah yang terjadi lebih dari 14 abad lalu. Misalnya saat nabi Muhammad melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj atau saat nabi melakukan perjalanan Hijrah –yang menurut pemaparan pengurus dan testimoni bahwa film berjudul “Hijrah” paling bikin emosional dan tak jarang membuat pengguna menangis-. Penggunaan VR semacam ini memberikan sensasi yang berbeda dibandingkan pembelajaran sejarah Islam secara tradisional seperti membaca atau mendongeng. Ini karena teknologi VR memungkinkan pengalaman yang lebih personal dan imajinatif—kalau begini mungkin tidak ada lagi humor ‘ta ceritani nabi-nabi’.

Selain itu, edukasi sejarah Islam secara virtual ini lebih memudahkan dan dirasa lebih dekat kepada generasi muda yang cenderung suka visual dan memudahkan pemahaman yang lebih mendalam akan makna spiritual dan perjalanan hidup para nabi. Lantas, apakah ini berarti peran teknologi dalam kehidupan spiritual umat muslim dapat menggantikan pengalaman relijius tradisional atau justru memperkaya pengalaman tersebut?

Dalam konteks Digital Islam, AI digunakan untuk menyederhanakan akses informasi, memfasilitasi pembelajaran agama dan menyokong ruang interaksi virtual sehingga umat muslim dapat beribadah sekaligus belajar tentang agama mereka. Dalam bukunya, Pak Bunt menjelaskan bagaimana AI dan teknologi digital telah membuka ruang baru bagi umat muslim yang kemudian dia namakan sebagai “Muslim Metaverse”. Di ruang tersebut, umat muslim dapat berpetualang melintasi berbagai ruang digital yang menawarkan pengalaman spiritual, termasuk interaksi dengan konten relijius yang dioptimalkan oleh algoritma AI. Lebih-lebih AI juga menciptakan algoritma yang dapat menyesuaikan pengalaman relijius berdasarkan preferensi pengguna yang membuat setiap individu merasakan pengalaman yang lebih personal. Fenomena semacam ini melahirkan pertanyaan etis dan teologis terkait bagaimana AI dan algoritma memengaruhi pemahaman dan praktik keagamaan.

Pada wahana VR yang menawarkan berbagai kisah-kisah esensialis semacam ini menurut Pak Bunt terdapat upaya untuk merekonstruksi pengalaman spiritual Rasulullah dalam format digital. Penyajian semacam itu tidak hanya mengilustrasikan kisah-kisah spiritual dengan cara yang baru. Namun, juga memperlihatkan bagaimana teknologi dapat mengubah cara umat muslim memahami peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam. Tak ketinggalan, wahana VR seperti ini juga berpeluang membuka ceruk bisnis yang menjanjikan. Terkait pengalaman ‘Virtual Mi’raj’ yang saya alami, ‘mungkin’ bukan sekadar simulasi virtual, tetapi juga hasil dari interaksi antara teknologi dan spiritualitas serta antara dimensi fisik dan metafisik dari petualangan tersebut yang dikontekstualisasikan dalam era digital.  

Penggunaan VR Journey dan teknologi AI dalam konteks Islam digital mencerminkan pergeseran besar dalam cara umat muslim merefleksikan kehidupan spiritual mereka. Teknologi VR memungkinkan pengalaman spiritiual yang lebih imersif, sedangkan AI memfasilitasi akses dan personalisasi pengalaman tersebut. Namun, hal ini ‘mungkin’ tidak mungkin memunculkan tantangan dari penggunaan teknologi semacam ini dari segi veracity (akurat) dan authenticity (keaslian) pengalaman spiritual.

Lalu, dapatkah tekonologi benar-benar dapat menangkap esensi dari pengalaman spiritual? Apakah perjalanan Isra’ Mi’raj yang direplikasi dalam dunia VR sama otentiknya dengan pengalaman yang dipahami melalui teks-teks relijius tradisional? Mungkin meskipun memberikan akses yang lebih mudah, teknologi tetap memiliki batasan dalam menyampaikan makna spiritual yang mendalam.

Namun, jika merujuk dari petualangan VR Journey yang saya alami dan sependek pengamatan saya, dalam penyajian visual yang dihadirkan oleh penyedia jasa ini telah mendapatkan sertifikasi langsung dari Kementrian Haji dan Umrah Arab Saudi sehingga ‘blueprint’ atau tampilan visual yang disajikan bisa dikatakan valid[2]. Hal ini dilakukan untuk memberikan pengalaman riil, sesuai dengan gambaran yang ada di dunia nyata sekaligus menghindari tuduhan-tuduhan negatif bahwa visualisasi dalam VR Journey memang bukan dibuat-buat.

Simpul:

Fenomena VR Journey 5D yang menyajikan peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan hidup Rasulullah menyebarkan ajaran Islam telah menunjukkan teknologi digital dapat digunakan untuk menciptakan pengalaman spiritual yang lebih menarik, imersif, dan personal. Dalam diskusi seputar AI dan Islam Digital, kecanggihan teknologi memicu pertanyaan tentang bagaimana umat muslim menavigasi ruang-ruang digital sembari memperkaya pengalaman keimanan mereka.

Karya Pak Bunt memberikan pandangan yang berbobot tentang bagaimana teknologi, khususnya VR telah memengaruhi cara umat muslim memahami dan menjalani kehidupan spiritual mereka. Sub-chapter yang berjudul “The Cyber Mi’raj” cukup menjadi refleksi saya dalam memberikan gambaran  tentang bagaimana teknologi digital dapat menggambarkan kejadian-kejadian spiritual sekaligus menjadi alat yang kuat untuk memperkaya pengalaman relijius, tetapi pada gilirannya, makna spiritual sejati tetap berada di luar jangkauan simulasi digital.

*Peneliti anak muda dan budaya pop di Indonesia


[1] Lih. @lightartvr dan siniar di https://youtu.be/UMUyvgI_TRg?si=NJjowQp_WnvZq555

[2] Menurut pengakuan pengelola VR Journey cabang Indonesia, tata letak yang disajikan dalam tampilan VR sudah lolos verifikasi dan bisa dikatakan bahwa Produser VR Journey pusat yang berlokasi di Amerika ‘dekat’ dengan kementrian tersebut.

 

Comments

Popular Posts