Senin yang Libur
Contradixie, cerpen – Hari Senin telah menubuh dalam dirinya. Ia
tahu hari ini tanggal merah karena Muludan. Biasanya di hari libur, ia
menghabiskan waktu untuk rebahan dan di sela-selanya main gim. Tapi, hari ini
tubuhnya terasa ingin keluar dan beraktivitas: ngopi.
Ia membersihkan rumah. Masak. Sarapan dan siap-siap keluar. Lima
belas menit kemudian ia sampai di Lembayung, salah satu Warung Kopi yg
berdasarkan ingatannya, pada 2008, harga kopinya masih Rp2500.
Tiba di parkiran, ia lingak-linguk. "Iki buka to ora?"
Ia membatin sebab tidak tampak satu orang pun di dalam.
Untuk memastikan, ia beranikan diri masuk. Rupanya, buka. Barista
sekaligus kasir sedang duduk di kursi agak pendek, sehingga membuatnya tidak
terlihat dari parkiran. Ia pesan kopi susu agak pahit.
Sejurus setelah pesan, karena hari cerah dan jam menunjukkan pukul
11.24, ia berhenti sejenak, memikirkan di mana ia harus duduk. Mas barista +
kasir menyadari bahwa ia bingung memilih tempat dan ini membuatnya menyarankan
tempat yang pas untuk siang hari.
Tapi, ia mengabaikan sarannya. Ia justru memilih tempat duduk di
bagian selatan yang keteduhannya sekitar 65%. Awalnya, ia memilih itu
berdasarkan insting yg diperkuat dengan saran yang ia terima. Ia tidak suka
dibantu. Namun, setelah duduk di tempat pilihannya, ia merasa bahwa ini posisi
paling baik di siang hari di Lembayung.
Pertama, ia bisa melihat bayangan daun-daun bergoyang dan berganti
posisi di mejanya, meski ia harus rela sebagian tangannya tertimpa cahaya
hangat matahari.
Kedua, tempat duduknya memberikan semacam fitur dinamis. Setiap
beberapa menit, cahaya matahari yang menyorot ke tempatnya berubah dan ini
menyembulkan satu kreativitas ilahi yang sulit didapatkan di kafe-kafe ber-ac.
Ketiga, suasana tersebut memunculkan kembali kenangannya di masa
kecil berkenaan dengan siang yang cerah. Ia meyakini, tempat yang bisa
memanggil keindahan masa lalu adalah tempat yang pasti nyaman.
Karena alasan terakhir, ia mencari Tayub Tuban di Spotify dan
kebetulan sekali, yang muncul pertama adalah Wantikah. "Wah, Wantikah.
Bude idaman para bapak masa itu," celetuknya bahagia.
Di tengah ia memilih lagu Wantikah mana yang akan diputar, kopi
tiba. Ia menghirup pelan aroma kopi, meski ia tidak mendapatkan apa pun karena
tercampur SKM.
Sebelum mencecap kopi susunya, ia memperbaiki posisi duduk.
Menegakkan punggung. Menyetel tayub dan ... "Alhamdulillah."
"Muludan ini terasa seperti Senin pada
tahun 2008 di Tuban." –zv
Comments
Post a Comment