Isunya Menarik, Romantismenya Pelik



Ada banyak penggunaan istilah dalam bahasa Dayak yang dimasukkan Korrie Layun Rampan dalam buku Api Awan Asap. Pembaca dibutuhkan sabar dan ikhlas bolak-balik mengintip catatan akhir untuk mengetahui makna dari istilah yang tertulis. Menurut saya ini letak kekurangan buku ini secara teknis. Memang, mungkin untuk ukuran buku fiksi agak ganjil ketika menggunakan catatan kaki yang banyak, namun itu dapat diterima bila memang diperlukan untuk dapat memahami cerita.

Dari penggunaan judul yang ditetapkan penulis, sudah terang bahwa buku ini hendak mengangkat isu-isu terkait lingkungan. Dan benar saja di beberapa bab bahkan secara khusus membahas tentang penebangan dan pembakaran hutan, alih fungsi lahan, pengairan, dan sebagainya. Namun sayang sekali bumbu romantisme dalam novel ini yang justru menyita perhatian saya.

Dikisahkan Nori terpaksa harus menjanda di usia pernikahan satu bulan. Tersebab suaminya, Jue, dikabarkan hilang di dalam gua ketika sedang mencari sarang walet bersama Sakatn. Hal yang kemudian membuat Nori menjadi kuat adalah kehadiran janin di dalam perutnya, buah cintanya bersama Jue. Sepeninggal Jue, Nori sudah tidak pernah memikirkan untuk menikah lagi. Jangankan menikah lagi, bahkan mengimpikan sentuhan lelaki pun ia sudah tidak terbayang. Namun Sakatn, kawan karib Jue sejak kecil, justru mengajukan lamaran pribadi atas Nori. Penolakan demi penolakan diterima Sakatn, demikian juga lamaran demi lamaran semakin sering diajukannya. Hingga kemudian telah berlalu waktu selama 20 tahun. Putri Nori bernama Pune bahkan sudah berkuliah, namun Sakatn tidak juga lelah meminta Nori untuk jadi istrinya.

Ada kegelian luar biasa yang saya rasakan ketika dialog-dialog antara Nori dan Sakatn dihadirkan. Membayangkan diri berada pada posisi Nori, barangkali saya sudah menjauh atau bahkan tidak mau berjumpa lagi dengan Sakatn. Kalau istilah anak sekarang, di-cut off.

Cara Sakatn melamar Nori menurut saya menyebalkan. Berulang kali ditolak tapi masih selalu saja mencobanya lagi dan lagi. Untuk perempuan dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua seperti saya, rasanya ingin muntah di depan wajah Sakatn tiap kali dia mengulangi lamarannya.

Tapi mungkin bagi penulis, narasi-narasi yang dihadirkannya terdengar romantis, atau puitis? Sayangnya sedikit kurang realistis.

Sebenarnya buku ini menyenangkan sebab menghadirkan setting berbeda. Tidak melulu tentang Jawa, tidak melulu tentang Indonesia bagian Barat.

Karena setting yang tidak umum, kita pun akhirnya bisa mendapati nama-nama tokoh yang baru, unik, dan belum pernah didengar. Nama-nama yang khas dimiliki masyarakat suku Dayak Benuaq di Kalimantan.

Comments

Popular Posts