Perihal Moody-an, Kenapa Jadi Tanggung Jawab Bersama?

 


Contradixie, Esai – Dalam menjalani kehidupan yang penuh lika-liku-luka ini, manusia dengan fitrahnya akan selalu dihadapkan dengan naik turunnya sebuah perasaan. Ada saat-saat di mana kita merasa bahagia, tenang, dan penuh semangat, tetapi tidak jarang juga kita mendapati diri terjebak dalam perasaan gelisah, marah, atau bahkan kesedihan tanpa sebab yang jelas.

Perubahan suasana hati atau mood swings adalah hal yang wajar terjadi, tetapi ketika mood berubah secara drastis dan mengganggu keseharian, hal ini dapat menjadi tantangan tersendiri. Biasa dalam bahasa Gen Z—atau Gen Megawati, kata temanku—kami menyebutnya dengan moody-an, yaitu orang-orang yang mudah sekali berubah-ubah perasaannya atau suasana hatinya.

Pengelolaan mood sangat sulit, terutama bagi seorang perempuan. Aku tak ingin dihujat oleh para feminis. Aku pun sebagai perempuan mengakui kesulitan mengelola mood dan sebagai refleksi, aku teringat beberapa hari yang lalu saat bertemu temanku, ia sedikit bercerita.

Hari itu, aku bertemu temanku. Kami memang biasa mengerjakan tugas bersama.Hari itu ia tampak tak bersemangat. Ia banyak diam dan seperti menyimpan sedikit kesal, meski berusaha ia sembunyikan lewat senyum simpulnya.

Obrolan kami selama di kedai kopi ya seputar tugas. Ia memang seorang yang berbeda. Ia tak pernah cerita hal-hal pribadinya. Ia memang manusia sulit ditebak hingga aku tak mampu menahan rasa penasaranku. Awalnya aku ragu untuk menanyakan.

Kucoba bertanya.

“Hmm, maaf ni mo nanya. Kamu kenapa, kok kayak lagi mikirin sesuatu?” dengan suara lirih, ia kemudian menatap mataku. Kemudian tersenyum, khas senyuman simpulnya.

Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, lalu menjawab pertanyaanku.

“Mwhehe.. Aku sebenarnya juga bingung.”

Kupikir, temanku ini tidak akan menjawab. Dengan ekspresi kesalnya, ia melanjutkan.

“Akhir-akhir ini, aku capek banget ngadepin mood temen-temen di kamar, rasanya aku payah sekali. Aku sering pergi dari kamar hanya untuk menenangkan diri. Pergi pagi pulang sore. Aku kaya muak..tapi juga bingung harus gimana. Aku ga cukup bijak untuk ngobrol dan bilang ke temen-temen lainnya untuk sama-sama saling mengerti.”

Aku kemudian bertanya.

“Kenapa bisa seberpengaruh itu sampe kamu harus pergi pagi pulang so..?” belum selesai ia sudah menimpali jawaban.

“Entah, awalnya kurasa aku yang terlalu cuek. Ternyata memang beberapa dari mereka itu berlebihan, aku mengakui di antara mereka ada yang selalu ingin dimengerti, khususon ila moodnya. Aku ga bilang itu sebab mereka cewek, nanti aku diserang feminis. Gini lho, kayak lagi berantem sama doi-nya aku harus ngertiin dia, sedih dikit upload story galau tapi kalau tak tanya diem aja, dijailin temen lainnya langsung tiba-tiba ngambek, ga mau piket karena diingetin piket terus, kan tandanya harus segera piket bukan malah sebel-sebelan. Kok iso sih, cah gede loh iki. Asem rek. Masalahe, rusak mood wong-wong kamar, marai ra penak suasana kamar, hmm.. lucu ga sih? wkwk”

Nadanya bicaranya mulai naik, aku melihat raut wajahnya, ia benar-benar kesal. Tapi di ujung ceritanya masih saja ia menyempatkan tertawa. Makhluk aneh ini. Pikirku singkat.

“Kayaknya perihal mood itu urusan masing-masing, bukan tanggungjawabmu, apalagi melemparkan menjadi tanggungjawab bersama. Walaupun di asrama memang banyak manusia, justru harus lebih bisa ngatasi mood yang beragam wkwk” aku tak berusaha membela temanku, aku paham bagaimana rumitnya.

Ia menyahut.

“Setuju, menejemen mood itu penting. Di generasi kita memang sangat diperlukan menejemen itu. Apa aku buka kelas menejemen mood ya?”

“Hahaha!” Kamipun tertawa bersama

Aku mengerti betul, bagaimana sulitnya menghadapi teman-teman seperti itu. Aku percaya temanku lebih bijak dan dewasa menghadapi orang-orang seperti itu. Pengelolaan mood yang efektif butuh kerja keras, usaha yang sangat besar, membutuhkan kesadaran, perencanaan, serta dukungan dari lingkungan sekitar. Dinamika kehidupan, beserta lika-liku-lukanya.-azn

Comments

Popular Posts