Mencari Diri Sendiri: Refleksi “Bangun Tidur”
Sumber gambar: https://www.innovationinpractice.com/.a/6a00e54ef4f376883401bb0875ae4b970d-popup |
Dan Dialah yang menidurkan kamu
di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian
Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah
ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan
kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (al-An’am: 60)
Selama ini,
banyak dari kita mungkin memandang bahwa tidak ada yang istimewa dari “bangun
tidur”. Peristiwa tersebut tidak lebihnya adalah akibat dari kita yang
sebelumnya usai tidur dan kemudian bangun. Itu amat wajar atau memang sudah
seharusya begitu, sehingga tidak ada sesuatu yang penting di dalamnya. Akan
tetapi, jika kita tidak enggan untuk meluangkan sedikit waktu guna merenung.
Minimal, terdapat dua hal yang menarik dalam peristiwa “bangun tidur”. Pertama,
itu merupakan batas bagi kita untuk memulai hari yang baru dan meninggalkan
apa-apa yang usai kita lakukan kemarin dan kedua, itu adalah tanda bahwa umur
kita semakin bertambah.
Bagi yang pertama, jika kita mau sedikit
saja mendalami, ini akan berdampak luar biasa terhadap pola pikir kita. Ini
adalah ibarat kita memiliki lembar baru yang masih putih, sehingga dampak
normalnya, kita akan lebih bersemangat dan fokus untuk menjalani satu hari kita
dengan efektif. Hal tersebut berbeda, saat kita disuruh fokus dan bersemangat
di siang hari yang paginya kita, semisalnya, usai melakukan tindakan yang
kurang efektif.
Adapun untuk yang kedua, hal tersebut
menjadi bagian dari keistimewaan “bangun tidur” sebab itu berpotensi
menyadarkan kita akan pentingnya sebuah perencanaan. Dengan lain ucapan, di
saat kita menyadari bahwa umur kita semakin tua, dampak normalnya, kita akan
berkeinginan untuk menjadikan hidup kita lebih berarti. Berbicara berarti,
dalam konteks ini, maka berbicara pula tentang perencanaan. Disadari atau
tidak, melalui cara pandang yang berbeda terhadap “bangun tidur”, itu akan
berdampak luar biasa terhadap pola pikir kita tentang keefektifan hidup.
Namun, selain kedua hal di atas, ada satu
lagi yang boleh jadi ini merupakan penentu atas keduanya, yaitu “kesadaran akan
pentingnya mencari diri sendiri”. Artinya, dua paragraf di atas hanya akan
berfungsi saat kita sudah berani untuk melakukan pencarian diri di setiap kali
kita “bangun tidur”. Adapun yang termasuk dalam pencarian diri tersebut adalah
memikirkan kembali siapakah kita sebenarnya, apa yang sewajarnya kita lakukan
sebagai diri kita, siapakah yang membentuk kita, apa saja ketidakefektifan kita
di hari kemarin, bagaimana cara agar itu bisa diperbaiki, dan sebagainya. Sederhananya,
pesan yang ingin disampaikan di sini adalah agar masyarakat muslim terbiasa
untuk menemukan dirinya sendiri pada
setiap bangun tidur, lantas mereka akan selalu berusaha memperbaiki kehidupan
di setiap harinya.
Jika dikembalikan kepada al-Quran,
secara prinsip anjuran tersebut sudah cukup jelas disinggung dalam surat
al-An’am: 60. Dalam bagian ayat tersebut tercantum kalimat “tsumma yab’atsukum
fih” dan “ya’lamu ma jarahtum”. Untuk yang pertama, tersirat darinya
sindiran kepada kita yang sering kehilangan diri sendiri selepas bangun tidur.
Kenyataan bahwa di penggalan terakhir ayat tertulis “tsumma yunabbiukum bima
kuntum ta’malun” yang mengindikasikan ketidaksadaran kita atas diri kita
sendiri adalah salah satu alasan mengapa bisa demikian. Sedangkan kedua,
darinya bisa dipahami bahwa kita dianjurkan untuk selalu intropeksi diri. Dalam
kalimat tersebut, dijelaskan bahwa pihak yang mengetahui ketidakefektifan—jarh—kita
hanyalah Allah. Tidak lain, itu adalah indikasi bahwa kebanyakan manusia tidak
bisa menyadari ketidakefektifannya sendiri. Oleh karena itu, melalui kalimat
selanjutnya— tsumma yab’atsukum fih—mereka dianjurkan untuk intropeksi
diri pada setiap dibangunkan dari tidurnya di pagi hari.
Secara umum, ada tiga kata kunci dalam
ayat ini, yaitu kita dibangunkan di pagi hari, kita sering kehilangan diri
sendiri selepas bangun tidur, dan kita sering tidak menyadari ketidakefektifan
kita di hari kemarin—tsumma yab’atsukum fih, ya’lamu ma jarahtum, tsumma
yunabbiukum bima kuntum ta’malu. Dan jika semua itu dirangkai, maka akan
ditemukan dua poin, pertama kenyataan kita sehari-hari dan kedua adalah
alternatif untuk memperbaikinya. Untuk penggalan ayat kedua dan ketiga itu
masuk dalam katagori kenyataan kita sehari-hari, yaitu sering melakukan
ketidakefektifan dan tidak menyadarinya. Sedangkan penggalan ayat pertama itu
masuk katagori alternatif, yaitu solusi untuk memperbaikinya. Adapun solusi
tersebut adalah sebagaimana yang disebut di awal dengan selalu mencari kembali
diri sendiri selepas bangun tidur. Sederhananya, dalam hal ini, kita
direkomendasikan untuk senantiasa intropeksi diri di setiap selepas bangun
tidur dan yang pasti tidak lagi meremehkan peristiwa “bangun tidur” itu
sendiri.
Dalam wilayah praksis, ini bisa kita
mulai dengan mengharuskan diri sendiri untuk sejenak merenung—termasuk di
dalamnya intropeksi—di pagi hari. Mungkin, bisa saja itu kita lakukan selepas
salat subuh atau pas waktu salat dluha. Di samping suasananya masih pagi,
tenang, dan lembaran kita masih baru, hal tersebut juga akan membantu kita
merasakan langsung hikmah di balik mengapa harus ada salat wajib di waktu fajar
atau salat subuh. Tentang perenungan, di dalamnya kita bisa menanyakan kembali
apa tujuan hidup kita, siapa kita, sudahkan kita sewajarnya berlaku sebagai
diri kita sendiri, sudahkah kita menjadi manusia yang manusia, apa saja
ketidakefektifan yang kemarin dilakukan, bagaiaman cara memperbaikinya, dan
sebagainya. Sehingga selepas perenungan, kita sudah mendapatkan diri kita
sendiri dan yang pasti dengan pola pikir yang lebih bijak, fresh, enjoy,
fokus, serta siap untuk bertarung.
Kiranya demikian. Setidaknya, setelah
memahami ayat di atas, kita bisa lebih sadar akan pentingnya mendapatkan
kembali diri kita sendiri setelah kita kehilangannya. Hal tersebut bukan saja
untuk pengembangan potensi individu semata, tetapi juga menyangkut kenyaman
orang lain atas kehadiran kita. Semakin kita sadar akan apa yang kita lakukan,
semakin orang lain nyaman dengan kita. Sebab tanpa kesadaran atas diri,
kebijakan akan selalu bersembunyi.
Oleh: Redaksi
Comments
Post a Comment