Pemakaman (dan) Tuak
![]() |
Sumber: https://suryamalang.tribunnews.com/ |
Ada temanku
dari Ngawi. Dia sedang main ke Tuban dan ngajak bersua. Aku memberi dia alamat
warung minum yang paling lengkap sak-Tuban. Dia senang. Kami bertemu.
Karena dia
sedang belajar merawat ego atau khudi, meminjam bahasa Iqbal, dia yang
menraktir kali ini. Dia pergi menuju kasir yang jauhnya setara dengan setengah
menit perjalanan. Aku memesan kopi susu tanpa susu, seperti biasa. Dianya,
entah memesan apa. Aku tidak tertarik buat tahu.
Sekembalinya
dari kasir, dia rada heran setengah kecewa. Aku tanya, "Pasti kopinya
habis? Atau kamu lupa aku tadi mesan apa? Atau kasirnya pindah?"
Dia tidak
menjawab pertanyaanku. Tapi langsung merepotkanku dengan pertanyaan lain, "Ini
warung minum paling lengkap sak-Tuban, toh?"
Aku tertawa
dan menegaskan lagi bahwa itu benar. Dia tidak terima, "Kenapa di sini
tidak jual tuak? Tuban, Su. Tuban. Dulu, kakek-kakekku itu ke sini untuk nyari
tuak. Rasanya khas, kata mereka. Beda dengan yang di Gresik, apalagi yang di
Jogja. Ah Asu. Aku tanya tuak ke mbaknya, eh kamu tahu, aku malah ditawatin
tasbih. Lah iki pie toh. Asu."
Aku
terpingkal dalam hati, tapi tetap serius mendengar dia mengumpat. Lalu
kujelaskan begini.
Tuak itu
sudah lama tak menghiasi kotaku yang semakin lucu ini, Su. Terakhir kutahu, dia
mengalami stigmatisasi yang luar biasa dari Bupati. Eh bupati, maksudku: b
kecil.
Dia
dicitrakan sebagai minuman haram. Hanya pendosa yang berani menerjang batas
haram. Dalihnya mengerikan. Alquran langsung. Siapa coba yang tidak ketakutan
kalau mainnya langsung Alquran. Siapa pun pasti ingin sesuai dengan Alquran
toh, kitab sucinya.
Cerdiknya,
pemerintah tidak berani memakai hadis. Kenapa? Soalnya takut nanti malah
membuat orang-orang tidak salat. Kamu pasti bingung, kan? Ya tentu. Dulu aku
juga.
Awalnya
mungkin masih ada banyak yang melanggar, tapi lama-lama mereka ketakutan juga
dan kamu tahu apa yang menjadikan mereka ketakutan? Sebab masyarakat Tuban
waktu itu sudah mulai bermain Facebook!
Bukan soal
main Facebooknya sih, tapi tentang apa yang
mereka baca lewat Facebook. Sejak pertama stigmatisasi itu berjalan, pemda
mengguyur beranda Facebook masyarakat Tuban dengan informasi-informasi bahwa
tuak itu minuman terkutuk! Dengan kemajuan teknologi (algoritma), tentu hal ini
tidak susahlah, apalagi bagi Daerah yang sebentar lagi memiliki kilang minyak
terbesar sakdunyo.
Bahkan,
pemda sampai memunculkan semboyan baru yang pada jaman Pak De-ku saja belum
ada. Apa itu? Tuban Bumi Wali!
Itulah awal mula, tuak sekarat di Tuban.
Seiring
dengan semakin seringnya tetangga-tetanggaku membunuh waktu luangnya, kadang
juga waktu kerja, buat akses Facebook dan sejawatnya, semakin mengendap pula di
bawah sadar mereka bahwa Tuak itu haram. Tidak layak minum.
Pada aras
ini, stigmatisasi berperan seperti bom waktu, Su. Pola geraknya mirip dengan
bagaimana narasi "desa kumuh" itu dimunculkan (dan dilawankan dengan
"perumahan") oleh pemerintah di daerah barat sana secara sengaja
supaya mereka bisa menggusur dengan tanpa mendapatkan perlawanan yang cukup
berarti dari masyarakat. Ya, sebab itu kumuh.
Dan hari
ini, bom itu telah meletup. Anggap sajalah begitu. Masyarakat Tuban sekarang,
termasuk para pebisnis tuak, ketika mendengar kata tuak, yang muncul di
benaknya tidak lagi satu istilah yang khas Tuban. Yang mewakili tempat
tinggalnya atau representasi dari segenap budaya dan pengalaman masyarakat.
Tidak. Yang muncul di benak mereka hanya satu isu: dosa!
Loh,
sebenarnya ada apa di balik stigmatisasi tuak ini? Pertanyaan bagus. Yang jelas
itu tidak tentang haram-halalnya tuak. Tentu tidak. Lalu? Hash. Capek aku. Besok saja kulanjut. Sak iki melok aku nang makam sik. Makam di sini beda dengan di
daerahmu.
Comments
Post a Comment