Bacalah Jurnal, maka Kamu akan jadi Manusia yang Sesungguhnya (Ini serius!)
Selepas membaca catatan Gus Mus
soal “perilaku kita”—di salah satu buku bunga rampai—tiba-tiba saya merasa
tergugah untuk membuka kembali surah al-Ashr. Bagaimana tidak, dalam tulisan
pendek tersebut, beliau berhasil menyentuh ruang paling suwung pada diri kita sebagai manusia. Beliau, dengan gaya
menulisnya yang seperti angin di sore, menenangkan, mencatat bahwa manusia hari
ini secara tanpa sadar tidak pernah menaruh perhatian yang lebih buat orang
lain.
Mulai dari bangun bobok sampai
mau bobok lagi, tegas beliau, kita tidak melakukan apa pun kecuali sibuk dengan
kepentingan kita masing-masing: belajar, mencari uang, olahraga, belanja, dan
sejenisnya. Paling banter—jika memang boleh disebut sebagai peduli—kita baru
mau meluangkan waktu buat orang lain ketika ada undangan yang bernuansa resmi,
seperti undangan rapat RT, organisasi, atau lembaga tertentu. Pun, itu sifatnya
sebatas meramaikan sambil lalu. Tentu kita sendiri sering merasakannya toh betapa saat ada rapat organisasi,
sebagian besar kita hanya mencukupkan diri dengan bilang “bungkus!”,
“sepakat!”, “aduh, itu terlalu sederhana!”, “wah, jangan serius-seriuslah!”,
dan sebagainya tanpa benar-benar mau ikut berpikir secara mendalam. Iya, kan?
Melihatnya dari satu sisi,
cukuplah wajar. Kita melakukan itu sebab urusan organisasi tidak memiliki
hubungan langsung dengan kita. Andai ada, saya yakin ujungnya akan beda. Akan
tetapi, diteropong dari gardu pandang lain, fakta barusan sangatlah tidak
wajar. Mengapa? Sebab jika ia dibiarkan maka akan berdampak pada apa itu yang
disebut sebagai “menjauhkan diri dari predikat manusia” atau jika ditarik ke ranah
normatif bahasanya adalah “lafi khusrin” (al-Ashr [103]:2). Mari kita menyelam
sebentar ke peradaban kata.
Secara tidak langsung, ayat
tersebut menegaskan bahwa manusia ketika dihadapkan dengan waktu keseharian (24
jam), maka hakikatnya adalah makhluk sosial. Akibatnya, tidak bisa tidak mereka
penting untuk menyediakan waktunya secara khusus tulus untuk “peduli” dengan
sesama, bukan waktu-waktu sisa. Pada lanjutan ayatnya, tertulis pula kalimat
seperti iman (meyakini), ‘amal saleh (berbuat baik), dan tawashau (saling memberi alarm), yang
konotasinya jelas pada keseimbangan atau pun prestise sosial, tidak individu, pada
kebahagiaan (al-falah) bersama, bukan
kemenangan pribadi yang suwung,
kosong.
Sederhananya, yang ingin saya
sampaikan di sini adalah mbok yo’o,
dari 24 jam kita itu ada dua atau tiga jam khusus untuk orang lain. Entah itu
melalui turut memikirkan—secara mendalam layaknya ketika memikirkan urusan
sendiri—problem teman, organisasi,
atau apalah yang bermanfaat bagi umum. Jangan sampai, 24 jam yang kita miliki
habis, dan bahkan kurang, hanya untuk kepentingan diri sendiri. Sangat
disayangkan: sudah kekurangan waktu, cuma buat pribadi lagi! Pula, di waktu
yang sama andai kautahu, itulah perwujudan “lafi
khusrin” yang paling nyata.
Dan akhirnya untuk langkah awal,
bolehlah kita meniru teman-teman akademisi kita itu yang sudah berhasil menekan
kepentingan pribadi-akademiknya demi kepentingan orang lain. Yang sudah
berhasil mengontrol ambisinya untuk tidak lagi seperti kepiting yang berebut
untuk keluar dari ember. Yang sudah berhasil menguasai pikirannya untuk tidak
menganggap remeh orang lain, meski posisinya sudah di menara gading, dan
sebagainya. Ya paling tidak, kita mulai dari membaca sesuatu yang mereka makan
selamanya, eh selama ini: jurnal. Hayuk.
Penulis:
Zav
Comments
Post a Comment