Berbicara itu bukan “Pekerjaan”, tapi “Komunikasi”
Dalam
artikelnya yang berjudul “Listening to People”, Ralph G. Nichols dan Leonard A.
Stevens, menengarai bahwa kebanyakan dari kita lebih suka bicara daripada
mendengar. Ini bisa dibuktikan dari bagaimana ketika kita habis mendengarkan
seseorang cerita, kita tidak bisa mengingat keseluruhan poin dari ceritanya.
Yang ada, lanjut mereka, maksimal kita hanya bisa mengingat hanya 50% darinya.
Itu pun, tidak bertahan lama. Dua bulan setelahnya, ingatan tersebut terjun ke
angka 25%. Dari angka ini, sampailah mereka pada kesimpulan tadi: manusia lebih
tidak suka mendengarkan.
Kalaupun
ada yang lebih suka mendengarkan, lanjut Nichols dan Steven, kerapnya yang
terjadi itu sebatas “mendengar”, bukan “mendengarkan”. Dua istilah ini memiliki
konotasi yang berbeda. “Mendengar” cenderung sekadarnya: ekspresi mendengar, tetapi
pikiran melayang entah kemana. Termasuk dalam aktivitas ini adalah betapa
banyak dari kita yang ketika mendengar orang lain bicara, sebenarnya yang kita
pikirkan adalah bagaimana membantah omongannya, bukan memahami.
Adapun
“mendengarkan” lebih pada aktivitas mendengar secara serius dan tujuannya
memang memahami. Biasanya orang yang suka “mendengarkan” menaruh perhatian yang
kuat pada minat lawan bicara, sehingga ia benar-benar memperhatikan dan bisa
menangkap maksud inti dari lawan bicara. Soal respons, orang yang
“mendengarkan” pun lebih bisa memberi tanggapan yang menyeruakkan ketenangan
bagi yang diajak bicara. Bagaimana tanggapan yang memicu ketenangan itu?
Tanggapan yang disertai dengan alasan.
Antara yang bicara dan mendengar
Meski
apa yang disampaikan Nichols dan Steven di atas banyak benarnya—seturut
pengamatan saya pribadi—tetapi mengarahkan fokus ke pihak yang mendengar saja,
tanpa pihak yang bicara, tetaplah sesuatu yang kurang elok. Betapa pun, sangat
mungkin, lesunya aktivitas “mendengarkan” di antara kita dipicu oleh pihak
pembicara sendiri yang penjelasannya susah dimengerti.
Dalam
diskusi seputar rasio komunikatif, Habermas menggarisbawahi bahwa salah satu penyebab
kegagalan seniornya di Mazhab Frankfurt—sampai tidak lagi bisa memberikan
tawaran teori baru pada masyarakat—terletak pada model rasio yang dipakai
(Hardiman, 2009). Para senior Habermas, seperti Adorno dan Horkheimer,
berpegang pada pandangan bahwa rasio itu bersifat instrumental atau ada untuk dipakai
mengusai (Adorno dan Horkheimer, 2002)
Rasio
instrumental adalah pola berpikir yang bergaya konfrontatif atau subjek-objek.
Seseorang yang suka melihat orang lain atau pihak yang sedang diajak bicara
sebagai objek, maka rasionya instrumental. “Bentuk baru” dari rasio jenis ini
adalah rasio komunikatif dan inilah yang ditawarkan Habermas untuk merangsek
kebuntuan para seniornya tersebut. Dalam pengertian paling sederhana, rasio
komunikatif adalah cara berpikir subjek-subjek. Cara berpikir yang memosisikan orang lain sebagai dirinya
dan dirinya sebagai orang lain. Cara berpikir yang berpotensi membuat kita
tidak lagi menilai sesuatu secara tidak elok, tetapi utuh, dua sisi, dan
sejenisnya.
Hal
yang sama saya kira juga berlaku untuk kasus pembicara dan pendengar di muka.
Jika ada pendengar yang tidak efektif, tentu ada pula pembicara yang demikian,
dan ketika yang kedua ada, maka bisa jadi faktor dominan mengapa intensitas
mendengarkan kita rendah adalah karena pihak pembicaranya yang kurang bisa
memahami aktivitas berbicara itu sendiri. Walhasil, di bawah ini saya akan
berdiskusi tentang apa itu berbicara atau presentasi—dalam bahasa formalnya—dan
bagaimana menyihir pembicaraan kita supaya menjadi jelas, mudah dipahami, dan
tidak memberatkan pendengar untuk mendapatkan poinnya.
Berbicara bukanlah pekerjaan
Salah
satu kontribusi besar Habermas dalam rimba filsafat, selain di atas tadi,
adalah bagaimana ia membedakan antara “pekerjaan” dan “komunikasi”. Masih
beririsan dengan rasio tadi, “pekerjaan” cenderung ke arah instrumental,
sehingga tujuannya untuk mencapai atau mengusai sesuatu, sedangkan “komunikasi”
tujuannya untuk mengolah atau mengerti secara resiprokal (Suseno, 2005).
Sederhananya, yang pertama itu menggunakan rasio instrumental dan sisanya
mengoptimalkan rasio komunikatif. Jadi, ketika berbicara adalah komunikasi,
bukan pekerjaan, maka konsekuensinya adalah kita harus memakai rasio
komunikatif ketika bicara atau menjelaskan sesuatu.
Melihat
“presentasi” sebagai komunikasi berdampak pada banyak hal, antara lain:
a.
Kita penting untuk menggunakan
bahasa yang sebisa mungkin tidak menyingung khalayak. Bahasa yang menyinggung
biasanya berpulang pada ihwal merendahkan lingkaran tertentu dan meninggikan
lainnya. Termasuk di sini pula adalah bahasa yang di situ kita terlalu
meninggikan diri sendiri.
b.
Sebisa mungkin menggunakan
istilah yang konotasinya pada kepentingan bersama. Biasanya ini terjadi ketika
kita sedang memberi contoh tentang sesuatu. Upayakan untuk menggunakan kata
ganti kita, seperti, Ketika kita sedang
dirundung rindu, misalnya, maka hal paling masuk akal adalah dengan tidak
bertemu, tetapi mengabaikan sampai rindu itu takluk pada kita.
c.
Kita perlu menghindari hal-hal
yang merendahkan keilmuan lain. Semisal rumpun keilmuan kita adalah eksakta, maka
kita tidak bisa melihat bahwa keilmuan humaniora itu tidak berdasar atau hanya
berpijakkan angan-angan saja.
d.
Kita penting untuk mendengarkan
(bukan mendengar) peserta yang bertanya dan jangan lupa pula untuk menatap
matanya sebagai sebentuk penghargaan.
e.
Upayakan untuk tidak mengklaim
pertanyaan yang muncul sebagai tidak relevan. Pasalnya, ini bisa mematikan
benih keberanian khalayak dan bahkan daya kritis.
f.
Sebisa mungkin kita harus berani
mengakui ketika ada sesuatu yang kita tidak tahu atau lupa.
g.
Dan terakhir, yang jelas kita
harus menyusun bahan yang akan dibicarakan se-sistematis mungkin supaya
khalayak mudah memahami poinnya.
Bagaimana cara menyusun bahan
yang akan dibicarakan?
Ada
banyak cara untuk membuat bahan pembicaraan kita sistematis dan mudah dipahami,
tetapi paling tidak hal-hal berikut inilah yang tidak bisa diabaikan. Hal apa
saja? Barangkali minggu depan ya kita diskusikan lagi. Heuheu …
Muhammad
Saifullah
Comments
Post a Comment