Hanya satu yang Menarik di Dunia Ini: Media Sosial
Al-Baqarah (2):164
اِنَّ
فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ
الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ
مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ
فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ
فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ
بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Sesungguhnya
pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang
berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang
diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi
setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang,
dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua
itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang
mengerti.
Ketika membaca ayat ini,
saya teringat tentang betapa hari ini orang-orang yang bisa menikmati momen sangat
jarang. Mereka seperti satwa langka. Dalam banyak kondisi, meski sedang
duduk bersama teman-temannya, mereka lebih memilih hanyut dengan gawainya. Dengan
akun-akun virtual, media sosial, game, video siaran langsung, dan semacamnya.
Menurut riset yang dilakukan
salah satu perusahaan media asal Inggirs, We Are Social, berkolaborasi
dengan Hootsuite pada Januari 2018 silam—dalam laporan berjudul Essential
Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The
World—menunjukkan bahwa orang Indonesia dalam sehari menghabiskan sekitar 3
jam 23 menit (atau bulatkan 30 menit) untuk sibuk dengan media sosialnya. Jika
kita mempertimbangkan aktivitas lainnya seperti kerja 8 jam (normalnya di
Indonesia), tidur 7 jam, dan makan-minum-toilet 2 jam 30 menit, maka angka
tersebut tidak bisa kita bilang sedikit.
Waktu di luar kerja,
tidur, dan di toilet anggap saja adalah waktu untuk istirahat. Dengan perhitungan
di atas, kita memiliki 6 jam 30 menit untuk istirahat. Kemudian bila waktu
rehat ini dikurangi lagi untuk bermain media sosial maka tersisa 3 jam. Hasilnya,
dalam sehari kebanyakan orang Indonesia hanya memiliki sisa waktu 3 jam untuk
menikmati momen atau merenungi apa pun yang terjadi di sekitarnya jika meminjam
logika Alquran di awal tadi.
Bukankah 3 jam itu lebih
dari cukup? Barangkali iya, tetapi lagi-lagi jika kita mau memperhatikan
teman-teman kita, berapa banyak dari mereka yang benar-benar mau merenungi
sekitar dalam sisa waktu itu? Aku tidak terlalu yakin.
Dalam contoh kecil saja
semisal kita sedang berdua dengan seseorang di warung kopi. Obrolan tentu ada,
namun apa yang biasa kita lakukan ketika kita sudah kehabisan bahan
pembicaraan? Seturut pengalama saya, kita akan lebih memilih membuka gawai
sebagai pengalihan isu ketimbang diam sejenak, meresapi situasi, menikmati
udara atau oksigen yang menghidupkan kita, dan semacamnya. Gawai memang
benar-benar mengubah pola gerak otot kita.
Momen dan even
Untuk situasi sedang
berdua dengan seseorang di kafe barangkali kita bisa memaklumi. Mungkin situasi
di kafe kurang merangsang kita untuk merenunginya atau kondisinya bising
sehingga hal yang paling aman dan instan adalah dengan gawai. Namun, ada lagi
kejadian lain yang menggelikan. Adalah ketika sedang ada even atau di tempat
wisata.
Pernah tidak kita sibuk
foto saja ketika sedang berwisata alam? Aku tidak tahu dengan teman-teman, tetapi
saya pernah mengalami itu. Jadi, pada awalnya, saya berniat untuk menyegarkan
segala yang riuh dalam diri dan akhirnya pergi ke tempat sejuk dan indah. Sesampainya
di sana, yang terjadi justru membuat saya tertawa setelahnya. Yakni kami sibuk
mengambil foto di sana-sini, mengambil video, dan mengunggahnya di media
sosial. Sekujur waktu liburan tersebut habis untuk media sosial dan otomatis
tidak ada itu yang namanya penyegeran yang cukup berarti, padahal situasi dan
kondisi sangatlah mendukung.
Hal senada juga bisa kita
amati dengan even. Even adalah sesuatu yang harusnya memicu siapa pun yang
melihat untuk tertarik mengamatinya dan otomatis merenungkan. Alain Badiou
dalam bukunya, Being and Event, membedakan antara even dan momen. Momen adalah
situasi biasa atau dunia pada kondisi normalnya. Adapun even adalah kondisi
tertentu yang mencoba untuk menabrak momen, sehingga tekstur dari even tidaklah
normal. Jadi, ketika bicara even, maka kita sedang berbicara soal kondisi yang
menarik serta memikat pikiran dan perasaan untuk bergerak. Ini di aras “harusnya”.
Akan tetapi, yang terjadi
di lapangan berbeda. Saat ada demo besar sedang berlangsung atau ada konser amal
Sisir Tanah di Gading Kafe misalnya, cobalah kita perhatikan, ada berapa dari kita
yang benar-benar menikmati even tersebut dan ada berapa yang malah sibuk
memotret dan menayangkan secara langsung via akun Instagramnya? Jika berkenan mengamati, kita akan tahu jawabannya. Untuk ukuran even pun, kadang kita masih
susah untuk mencoba—mencoba saja lho padahal—menikmati setiap detik
darinya.
Surah al-Baqarah (2):164
mengandaikan kita untuk senantiasa berupaya menikmati setiap momen di sekitar
kita baik yang bergerak secara natural atau pun direncanakan demi tujuan
tertentu (even). Perenungan sederhana atas momen dan even mendorong kita untuk
menemukan kembali diri kita yang siapa tahu sudah hilang dengan tanpa disadari
saat terhanyut di samudra media sosial. Upaya menemukan kembali diri akan
mendorong kita untuk mendapat secercah cahaya yang bisa membantu kita guna
menentukan sikap dan, kurasa ini penting, tanpa sikap, kita akan sulit untuk
membangun mental kita entah sebagai Muslim atau pun Manusia.
Comments
Post a Comment