Apa Saja Berhubungan dengan Al-Quran, Harus Kita Curigai!
Kajian Muhammad Arkoun atas tradisi Muslim dan Alquran
bisa disebut berpijak pada dua keresahan penting, yaitu pertama berupa
kenyataan betapa tafsir yang ada selama ini di dunia Muslim bukanlah apa pun
kecuali karya yang bersifat ideologis. Para sarjana yang melanjutkannya pun
terjebak dalam kubangan ideologi. Jadi, yang ada di sini hanyalah pengulangan
demi pengulangan.
Keresahan kedua lebih pada kajian yang dilakukan
sarjana Barat. Studi yang dilakukan lingkaran ini sudah menampilkan hasil yang
efektif memang, minimal tidak ideologis, tetapi sayangnya mereka tidak sampai
masuk pada aspek esoterik. Mereka hanya berkutat dalam lingkar luar seperti
ikan sapu-sapu yang suka menempel di kaca dan senang luar biasa karena
senantiasa bisa dilihat oleh orang di luar akuarium, kendati sebagai pembersih
kaca.
Karena dua hal inilah pada akhirnya, Arkoun
berkeinginan untuk menenun sebongkah metodologi yang bisa meramu keduanya. Yang
memungkinkan kita untuk tidak terjebak dalam lumpur hitam ideologi tertentu,
dalam arti objektif-kontekstual, serta mendalam atau tidak di bagian luar saja.
Tulisan ini tidak akan masuk pada pembahasan soal
proyek besar Arkoun di muka, tetapi melihat ala kadarnya pada apa yang
dimaksudnya dengan pemahaman Al-Quran yang terjebak dalam pekat ideologi.
Bagian paling mudah yang bisa dipahami dari
pandangannya ini berkisar seputar kesadaran kontekstual. Jika ingin sesuatu
yang baru dalam memahami Al-Quran lewat tafsir, katanya secara tersirat,
pertama-tama kita harus meletakkan tafsir pada situasi tempat ia lahir.
Tidak saja itu, apa saja yang bertautan dengan Al-Quran
dan Tafsir pun penting untuk kita posisikan sedemikian rupa. Apa saja di sini
bisa berupa kaidah-kaidah penafsiran, syarah dari kitab tafsir, dan bahkan “pendapat
santai mengenainya”.
Jadi, ketika ingin memakai kaidah sabab nuzul-nya
Imam Suyuti misal, maka kita tidak bisa begitu saja memakainya melainkan harus
melewati bacaan terlebih dulu atas kaidah tersebut. Tentang situasi tempat
tinggal dan kondisi Imam Suyuti sendiri. Cukup rumit kan? Saran-saran Arkoun
memang bajingan susahnya. Tapi, saya rasa, memang inilah yang harus kita bayar
untuk sebuah "kebaruan", jika bukan perbedaan.
Kuotes
dari Abu Bakar al-Siddiq Pandangan santai terkait Al-Quran
Yang masih hangat beberapa hari ini barangkali adalah
gambar kuote dari Sahabat Abu Bakar al-Siddiq tentang memahami Alquran vs
menghafalkan yang dibuat dan disebarkan oleh tafsiralquran.id. Dalam gambarnya,
tertulis kuote Arab yang dilengkapi dengan terjemahan serta informasi bahwa
pandangan ini pernah dikutip oleh Imam Maliki dalam Qawaid al-Asasiyyah fi Ulum
al-Quran-nya.
Teks terjemahannya berbunyi begini, "Bisa memahami
(menjelaskan/mengamalkan) satu ayat Al-Quran lebih saya sukai daripada
menghafalkan satu ayat."
Jika tadi masih ada yang meraba tentang bagaimana
contoh dari "pendapat santai mengenai Al-Quran", maka inilah salah
satu modelnya dan sebagai dampaknya, masih tentang pendapatnya Arkoun, maka
untuk menyikapi kuote ini, kita tidak bisa langsung memercayainya, apalagi
mengendapkan dalam diri.
Yang paling awal, kita harus menanyakan dulu, bagaimana
situasi Abu Bakar kala itu kok sampai bilang demikian. Kedua, kita penting
membaca juga, mengapa Imam Maliki tertarik mengutip Abu Bakar pada bagian itu.
Ketiga, bila keduanya sudah terjawab, kita melakukan pembacaan lagi terhadap
kondisi di Indonesia: apakah semua masyarakat muslim di Indonesia, 100 persen,
sudah bisa membaca Al-Quran. Apakah memang Al-Quran di benak mereka penting,
sepenting di benak Abu Bakar dan sebagainya.
Lalu, setelah kita tahu soal itu semua, baru kita bisa
menentukan untuk memakai atau tidak pandangan dari Abu Bakar tersebut. Atau
jika pun masih kita pakai, tentu kita akan memiliki cara pemakaian sendiri yang
khas.
Akhirnya, begitulah langkah paling sederhana yang
diandaikan Arkoun untuk mengikis jerat Taqdis al-Afkar al-Diny (pemberhalaan
pemikiran tentang agama) di setiap lingkaran Muslim. Hmmm
________________
S.
Pole, sedang
menempuh studi S2 di
Studi
Quran-Hadis UIN Jogja
sekaligus
Barista di GadingCoffee
Comments
Post a Comment