Dampak Pandemi pada Fragmentasi Baru Pelanggan Kopi Sorowajan-Jogja
Di koran-koran
sudah banyak disebutkan bagaimana pandemi korona jenis baru memorak-porandakan
banyak segi kehidupan. Mulai dari segi ekonomi, pendidikan, psikologi sampai
jumlah kehamilan yang naik drastis menjadi isu hangat yang mewarnai pengetahuan
kita, di samping kewajiban bermasker, bantuan langsung yg salah sasaran, dan
sebagainya.
Yang tidak lepas
dari dampak juga yaitu polarisasi pelanggan kopi di Sorowajan-Jogja. Sorowajan
adalah salah satu kelurahan di kecamatan Banguntapan, Bantul, DIY. Di
Sorowajan, tepatnya di kisaran selatan rel kereta api sebelah Perumahan Polri
Gowok, berjejer banyak warung kopi, seperti Kopi Paste (Kopas), Blandongan,
Joglo Kopi, dan yang terjauh Gading Coffee.
Meski banyak,
kafe-kafe tersebut sudah memiliki segmennya masing-masing. Blandongan misalnya,
kafe yang paling senior ini segmennya adalah teman-teman yang memiliki tingkat
kesantaian radikal. Dilihat dari segi penampilan, jemaat kopi Blandongan lebih
banyak yang mengenakan kaos oblong, celana pendek, sandal jepit, dan rambut
yang tidak teratur.
Jemaat ala
blandongan ini sekali-kali akan susah kita dapatkan jika kita pergi ke Joglo
Kopi. Di Joglo, seperti disebut Saleh Pole, salah satu mantan barista di situ,
Joglo Kopi adalah kafe parlente. Orang-orang yang ke sini lebih menonjol dari
sisi penampilan. Jarang manusia bercelana pendek bisa kita dijumpai di sini.
Yang ada adalah mereka yang ber-pantopel, baju rapi, dan rambut klimis.
Dari segi isu yang dibahas pun beda: sudah menunjukkan distingsi yang seolah
menandakan mereka darang dari kelas yang khas.
Dari segi latar
belakang, tentu tidak sama pula. Jemaat ngopi Joglo lebih banyak dari kalangan
dosen dan mahasiswa-akademik yang diskusinya harus sebisa mungkin formal dan
rumit. Ini menjadi wajar sebab tekstur di Joglo Kopi lebih memungkinkan mereka
untuk bisa berfoto tanpa harus kehilangan citra. Dengan ungkapan lain, di Joglo
Kopi ada fasilitas Sofa, kursi yang beragam, meja seksi, dan kamar mandi duduk.
Di antara keduanya,
soal latar belakang yang menurut pengamatan kami lebih netral adalah Kopas.
Jika Blandongan secara penampakan lebih mengarah pada freelancer murni
(manusia bebas, bahasanya Pram) dan Joglo sebaliknya, maka di Kopas dua jenis
manusia di muka ada. Di beberapa sudut Kopas, jika kalian sempat mampir, kalian
akan menjumpai lingkaran yang rapi dan di sudut lain, lingkaran yang mirip di
Blandongan (hanya tidak terlalu radikal).
Soal isu yang
seringnya menguar, di kopas lebih dominan pada wacana santai. Sebagian
membicarakan pekerjaan, sebagiannya studi. Pun, itu disampaikan dengan tidak
terlalu bar-bar. Di dua kafe sebelumnya, satu dominan ke pekerjaan, satu ke
studi dengan adanya semacam upaya untuk tampil dominan melalui suara-suara yang
memekik.
Beberapa
bulan dilanda wabah
Selayang, sangat
selayang, dari gambaran fragmentasi pelanggan di warung kopi Sorowajan di atas,
rupanya kami menemukan adanya pergeseran. Ada beberapa bagian yang seharusnya
itu menjadi pelanggan joglo, sekarang beralih ke Blandongan dan sebagian yang
harusnya di Kopas bergeser ke kafe lainnya.
Faktor utamanya
tentu kebijakan pemerintah daerah. Maksud saya adalah pandemi yang membuat
pemerintah melarang kafe-kafe untuk buka. Sejak ada pandemi, pemerintah
mengatur jadwal buka setiap kafe, sehingga mau tidak mau waktu buka kafe pun
berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Perbedaan jam serta
durasi buka ini ternyata berimbas pada adanya migrasi mikro dari satu kafe ke
kafe lain. Aturan tentang pembatasan sudah berjalan sekitar 3 bulan—jika tidak
salah ingat—dan selama waktu itu pula banyak pelanggan kopi yang tersesat bukan
pada kafe idaman mereka sebelumnya.
Berpijak pada
asumsi bahwa manusia hanya butuh 21 hari untuk pembiasaan hal baru, maka 3
bulan adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mengubah pola fragmentasi.
Pelanggan-pelanggan Joglo yang 3 bulan ini ngopi di Blandongan bisa jadi sudah
menemukan kenyamanannya yang baru, sehingga besok lagi kalau sudah benar-benar
normal bukan pseudo-normal (new normal), ia tidak akan lagi nyaman di
Joglo—misalnya.
Begitu pun dengan
pelanggan Kopas. Kemungkinan paling jelek, akibat pandemi ini, akan ada
beberapa pelanggan yang tidak lagi mencurahkan hatinya ke satu kafe, tetapi
membaginya. Sangat mungkin, besok akan ada pelanggan yang saat siang ngopi di
Kopas dan saat malam di tempat lain secara intens. Iya secara intens.
Namun, yang paling
jelas kita tunggu saja bagaimana wajah fragmentasi pelanggan baru di warung
kopi sorowajan kelak serta sejauh mana ini berpengaruh pada kafe yang baru
lahir kemarin, gading coffee.
Tim Contradi(xi)e
Comments
Post a Comment