Pandemi dan Fetisisme Informasi
Oleh Agus S. Efendi*
Hampir satu setengah tahun situasi pandemi mengikat
sejumlah kebebasan yang sebelumnya telah kita nikmati. Sekarang ketika
berinteraksi kita harus taat protokol kesehatan, berkumpul dengan teman atau
saudara harus dibatasi dan kalau mau bepergian pun harus tes-isolasi.
Situasi yang demikian kerap membuat orang kalap
sehingga secara gampang menghiraukan apa yang tengah terjadi. Hal ini
sebenarnya tidak akan terjadi kalau saja kita mampu memperlakukan informasi
secara tepat.
Pandemi kali ini dapat disebut sebagai pandemi terbesar
abad ke-21.
Hampir semua negara di dunia merasakan dampaknya. Dan sebagian besar penduduk
dunia tengah khawatir akan krisis kesehatan yang sudah tampak di depan mata.
Tapi beruntungnya
zaman di mana
kita hidup sekarang ini telah mampu menyediakan beragam infrastruktur serta
teknologi kesehatan yang dapat mempertebal rasa aman kita terhadap virus penyakit.
Jika kita bandingkan dengan pandemi terbesar di abad
yang lalu, sekarang kita sudah tidak menyaksikan lagi ribuan mayat
bergelimpangan atau sejumlah ketakutan yang di luar nalar.
Artinya sampai hari ini situasi pandemi masih bisa
terkontrol. Tentu rasa cemas pasti ada. Tapi dengan memperhatikan level
pengorganisasian sosial yang ada perasaan itu berada di pojok ruang psikologi
masyarakat.
Untuk mengukur tingkat keparahan pandemi dalam suatu
teritori tertentu kita dapat mengacu pada data statistik. Dari sana tersebut
berapa jumlah orang yang terinfeksi, yang sudah sembuh serta yang meninggal.
Tapi yang lebih penting dari itu semua adalah soal mekanisme pemrosesan data.
Karena yang diukur adalah persebaran virus maka
parameter itu sangat bergantung pada jumlah spesimen test pada populasi
penduduk. Pendeknya, kalau test pada populasi tidak masif maka tingkat
persebaran virus akan sulit untuk dibendung.
Di sini saya tidak ingin membahas kerumitan pengukuran
persebaran virus. Saya hanya berusaha menunjukkan bahwa dalam situasi pandemi peran
informasi sangat penting, apalagi
kita sekarang hidup dalam masyarakat informasi dengan teknologi komunikasi yang
sudah canggih.
Mungkin semua orang sudah paham bahwa platform media
sosial bisa menjadi sumber informasi publik sekaligus medium komunikasi. Namun
keduanya memiliki bobot yang berbeda.
Media sosial sebagai sumber informasi publik berarti ia
harus memiliki suatu kredibilitas penyajian data. Dengan kata lain ia harus
memiliki suatu kepekaan terhadap apa yang disebut kebaikan publik secara umum.
Lain halnya dengan media sebagai medium komunikasi cenderung
terbatas pada pertukaran gagasan atau pengalaman. Meskipun demikian tidak
menutup kemungkinan bahwa dalam medium komunikasi ini kemudian terjalin suatu
bentuk pemahaman bersama yang mengarah pada kebaikan publik.
Tapi kalau memperhatikan seperti apa sirkulasi
informasi dan opini dalam platform media sosial selama pandemi ini, tampak sedikit
nilai kebaikan publik yang berhasil kita sepakati bersama. Artinya daya tangkap
informasi dalam masyarakat dapat dikatakan buruk.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hal itu terjadi?
Saya kira jawabannya tidak jauh dari persoalan bagaimana informasi itu
dikonsumsi. Kehadiran mesin pencarian online seperti Google telah banyak
mengubah lanskap preferensi orang terhadap informasi.
Kemudahan mengakses informasi juga berimplikasi pada
hilangnya peran
otoritas penjaga. Hal ini kemudian memunculkan beberapa fenomena dari yang
belakangan mulai diperbincangkan mulai dari isu tentang hoaks, pelintiran kebencian hingga
sentimen identitas.
Tidak berfungsinya otoritas penjaga membuat sirkulasi
informasi tidak ubahnya seperti komoditas. Karena setiap komoditas mengandung
suatu nilai guna tertentu dan dipertukarkan dalam pasar maka kedudukan informasi
saat ini juga sama.
Saat komoditas itu diyakini memiliki simbol signifikan
dalam masyarakat dengan segera ia akan menjadi senjata untuk mendominasi.
Misalnya saja komoditas uang. Kita
dapat menyebut hal itu dengan istilah fetisisme.
Fetisisme informasi dapat dipahami sebagai suatu
keyakinan bahwa kedudukan informasi dalam pola-pola hubungan sosial bersifat
konstitutif. Informasi sendiri tidak hanya memuat konten dan esensi tapi juga
frame yang memberikan latar situasi.
Dalam beberapa dekade belakangan teknik framing telah menjadi
andalan bagi mereka yang ingin memperoleh pengaruh yang luas dalam media
digital.
Sama seperti teknik agitasi, framing lebih menyasar
ruang sentimen dan emosional seseorang. Contoh paling mudah adalah perilaku
para influencer yang mengkomodifikasi
kehidupan sehari-hariannya.
Ketika komoditas itu bertransformasi menjadi informasi
komersial maka dengan segera ia akan dapat dikonsumsi oleh khalayak publik.
Dari situ komoditas-komoditas informasi menemukan pangsa pasarnya.
Kita mengenal para konsumer informasi yang loyal dengan
sebutan follower atau fans. Bagi konsumen sendiri mengonsumsi jenis informasi tertentu
merupakan suatu bentuk kenikmatan atau malah mengandung prestise. Kalau dilihat
dari perspektif lain hal itu juga menunjukkan suatu kemewahan yang dimiliki
oleh kelas-kelas sosial.
Pada saat pandemi menuntut suatu kesepahaman visi untuk
menyelamatkan kesehatan masyarakat, tidak sedikit orang yang terjebak dalam
fetisisme informasi.
Alih-alih bersiap menghadapi kondisi terburuk dari
persebaran virus, terdapat beberapa orang yang malah bersikap denial
serta memproduksi informasi-informasi yang bersifat spekulatif.
Di samping itu para pemegang
otoritas publik juga gamang—karena menghadapi pilihan sulit antara ekonomi atau
kesehatan—sehingga tidak mampu menyediakan sumber informasi yang jelas serta
melangsungkan komunikasi yang efektif kepada masyarakat.
Hasilnya pun setiap kebijakan penanganan pandemi tidak
direspons dengan satu gerakan yang padu dari masyarakat.
Itulah salah satu persoalan terbesar yang kita hadapi
di masa pandemi ini. Fetisisme informasi membuat orang kehilangan sensibilitas
pada pencarian kebaikan bersama.
Yogyakarta, 13 Juli 2021
tertarik pada isu "Politik Kultural Masyarakat Muslim"
Comments
Post a Comment