Apakah Kecenderungan Berbuat Jahat Adalah Bakat?
Oleh: Mufti Al Achsan*
Dalam sebuah film serial Korea berjudul Juvenile Justice (2022), Shim Eun-seok—seorang hakim anak di pengadilan distrik Yeonhwa—begitu membenci para pelaku kriminal anak.
Di episode pertama serial itu, ada satu pernyataan yang kupikir menarik darinya: “kalian (pelaku kriminal) tak bisa berubah!”
Satu kalimat yang ditujukan kepada seorang remaja yang kedapatan mencuri dompet beberapa jam setelah masa pembinaan selesai akibat tindak kriminal yang pernah ia lakukan sebelumnya.
FYI, di Korea, anak-anak yang belum cukup umur (di bawah 14 tahun, kabarnya mau direvisi menjadi 13 tahun) tidak dikenakan hukum pidana jika melakukan tindak kriminal.
Mereka hanya dibina di tempat khusus yang konon justru tak mampu membuat mereka jera.
Berdasar statistik analisis kejahatan yang dirilis oleh Korean Youth Counseling and Welfare Institute (KYCI) dan Kantor Kejaksaan Agung Korea Selatan, sebanyak 90,4% dari 4.163 remaja Korea melakukan kejahatan lagi dalam setahun setelah masa percobaan (hukuman) di tahun 2017.
Tampaknya, Juvenile Justice adalah wujud ‘keresahan’ fenomena tersebut, mengingat tiga kasus dalam ceritanya adalah kisah nyata.
Apa yang menarik bagi saya dari pernyataan sang hakim tersebut adalah: apa benar bahwa kecenderungan untuk berbuat kejahatan/kriminal memang tak bisa diubah? Atau pernyataannya hanya wujud kekesalan atas masa lalu yang menimpanya?
Pernyataan itu sekilas mengingatkan saya pada film Amerika tentang perampokan berjudul The Town (2010).
Salah satu tokoh perampok bernama James Coughlin (Jeremy Renner) melakukan tindak perampokan tak berselang lama setelah ia dibebaskan dari penjara. Sebelumnya ia dipenjara sebab tindak pembunuhan.
Yah, tentu saja itu hanya kisah di film yang tak bisa dijadikan pijakan. However, saya jadi teringat. Ada satu klaim menarik dari seorang pakar neurosains, dr. Ryu Hasan, yang bisa kita kaitkan di sini.
Pada salah satu ceramahnya yang membahas tentang orientasi seksual, ia menyebut bahwa homoseksual adalah bakat, pembawaan sejak lahir, karenanya tidak ada faktor eksternal apa pun yang menjadikan seseorang yang sebelumnya tidak (berbakat) homo menjadi homo.
Lingkungan hanyalah sebagai pendukung atau pencegah dari bakat itu. Ia menganalogikannya dengan orang yang berbakat main gitar. Menurutnya, sekalipun ada orang berbakat bermain gitar kalau ia tidak diberi gitar tidak akan bisa bermain.
Dan sebaliknya, jika ada orang tidak bakat bermain gitar, diberikan gitar sebagus apa pun ia tidak akan bisa bermain.
Jika homoseksual adalah bakat dan bukan penyakit, mungkinkah orang yang cenderung berbuat jahat adalah bakat yang tidak bisa disembuhkan dan hanya bisa dicegah layaknya orientasi seksual?
Sebentar. Sepertinya frasa “berbuat kejahatan” terlalu luas maknanya, dan perlu kita spesifikasikan.
Ada sebagian orang yang memang menyukai/cenderung untuk melakukan tindak kekerasan. Saya punya kawan yang pernah terlibat dalam penelitian terkait isu terorisme.
Menurut tuturan kawan saya, beberapa informannya (para mantan napiter) saat ini memang menjalani rutinitas biasa layaknya orang-orang pada umumnya.
Ada yang bekerja sebagai penjual soto, pedagang pakaian, pendakwah, dan aktivitas lainnya. Namun, saya kaget bahwa para napiter ini ternyata masih memiliki semangat untuk kembali berpartisipasi dalam tindak terorisme. “Jika ada seruan untuk jihad, mereka selalu siap”, kata kawan saya.
Tampaknya, bukan tidak mungkin aksi terorisme kembali mereka lakukan saat kondisi sosio-politik memang benar-benar mendukung.
Diskusi di kalangan para sarjana ilmu sosial telah banyak menyuguhkan penjelasan soal faktor-faktor yang menjadi penyebab tindak kekerasan, baik ideologi, politik, sosial, ekonomi, maupun budaya (Lihat misalnya tulisan Olivier Galland dan Anne Muxel berjudul “Radicalism in Question”, bisa dibrowsing).
Namun, aksi kekerasan/terorisme hanya akan terjadi kalau faktor itu menimpa ‘orang-orang yang berbakat’ bukan?
*Penulis adalah mahasiswa doktoral Studi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Comments
Post a Comment