Feminicillin

Gemini generated image

Contradixie – Empat hari silam, temanku menelepon. Dia bertanya tentang salah satu temannya, yang juga temanku: mengapa dia sekarang jatuh cinta pada feminisme. Ulasannya di media sosial bagus. Respons-respons yang lahir pun tidak kalah konstruktif. Begitu ungkapnya. 


Aku tidak tahu, apakah dia tahu atau tidak, bahwa teman kita ini, sudah sejak lama suka feminisme. Hanya saja, aku bilang padanya, saat ini adalah momentum paling masuk akal baginya untuk beriman pada feminisme. 


“Kenapa?” tanyanya dengan suara penasaran. Sepertinya, dia benar-benar tidak tahu dan aku bercerita. 


Umurnya 29 tahun. Kondisi finansial mapan dan–aku sengaja tidak menggunakan “tapi”–masih sendiri. Ia mungkin memiliki standar ketat untuk memilih siapa yang akan berhak memiliki hatinya. Ia mandiri. 


Dalam banyak hal, kehendaknya penuh. Ia bisa ke sana dan kemari tanpa merepotkan orang lain kecuali barangkali ojek online. Ia mampu membeli barang apa saja yang dia mau atau sekadar ingin melengkapi koleksi. 


Namun, satu hal yang di situ kehendaknya lemah: hubungan asmara. Isabel Allende membedakan antara seks, romantisme, dan suatu hubungan, yang baginya, hanya orang-orang yang beruntung yang bisa mendapatkan romantisme dan hubungan berkualitas, apalagi untuk yang berumur setelah 35 tahun, dan aku tidak ingin menggunakan keyakinan Allende ini untuk membaca temanku. 


Kembali pada kehendak lemah, kita perlu tahu bahwa mereka yang mengidap simtom ini punya kecenderungan natural untuk mencari obat dan obat manalagi yang bisa menyembuhkan kondisinya kecuali feminisme? 


Ia butuh sesuatu untuk mendukung situasinya dan menjadikan segalanya masuk akal, seperti bahwa tubuh kita adalah milik kita sendiri atau menikah bisa dilakukan kapan saja selama kita siap dan jelas ini bukan urusan orang lain, termasuk orang tua. 


Dan di sini, feminisme adalah jawaban yang tepat. Sayangnya, feminisme tidak dijual di apotek, sehinga ia harus meraciknya sendiri dari berbagai bahan yang berserakan di internet dan ia terbiasa dengan ini. Sungguh.  


Aku lihat, obatnya ampuh. Ia tampak bersemangat dan siap melanjutkan hidup, bahkan membagi-bagikannya secara cuma-cuma di media sosial. Ini sama dengan kita ketika habis beli obat di Warung Madura dan rupanya mujarab, yang karena ini kita punya dorongan magis untuk menceritakannya pada rekan-rekan kerja bahwa obat ini lho bagus? Nah.


Aku berhenti sejenak, mengeluarkan rokok dan perlahan membakarnya.


“Ya, tidak cuma dia kalau pertimbangannya begitu!” Sahut temanku. 


“Oh tidak. Aku lihat, kamu berbeda. Begini, masalahnya mungkin sama, tapi bagaimana kamu merespons beda dan ini yang terpenting.” Kataku tetap tenang, meski aku khawatir menyinggung. 


Dibayangi kekhawatiran, aku melanjutkan: “tentang kehendak, ini pilihan. Memang, situasi menyumbang 80% lahirnya kehendak yang lemah, tapi bukan berarti di situasi itu, kehendak semua dari kita akan melemah dan membutuhkan ‘perintah’ dari pihak lain sebagai obat.” 


“Aku lihat, di media sosial kamu tetap santai, elegan, dan tidak terburu-buru. Tidak juga mendadak menjadi feminis, meski aku yakin kamu sepakat dengan beberapa gagasan feminisme. Rasanya berbeda ketika melihat dia. Dia semacam tidak bisa menerima posisi dan kesedihannya dan kemudian memilih lari melalui feminisme.” 


“Apakah aku tampak tidak sedih?” Dia mulai sendu dan hari terasa mendadak menjadi senja.zv

Comments