Bodin dan Telo Itulah yang The Real “real food”

 


Contradixie, Esai – Belum lama aku mencoba menggeluti dunia kuliner, sekadar untuk belajar bagaimana merangkai, mengonsep, dan membuat sebuah video resep-resep dan langkah-langkah terciptanya sebuah hidangan yang menarik di mata dan enak untuk dinikmati di kehidupan nyata.

Aku menemukan beberapa akun, mungkin sudah ratusan, bahkan ribuan atau sampai jutaan. Manusia-manusia getol menyuarakan “Real Food” dengan embel-embel lebih sehat dan membuat panjang umur tentunya.

Aku bingung, kenapa ada istilah real food? Memangnya apa yang kita makan selama ini fake food? Atau makanan yang tidak nyata seperti asap dan segala sesuatu yang bisa disebut mambu?

Setelah kutonton, real food merupakan makanan seperti sayur-sayur yang direbus, telur yang tidak dikocok bahkan digoreng, atau memakai santan yang sama dengan dosa besar, tanpa micin, sedikit garam, big no buat gula. Ahhhh Tuhaaan, membayangkan saja sudah tidak menarik.

Setelah kutelusuri, istilah “real food” ini terlahir di dunia Paman Sam, ketika sedang gencar-gencarnya fast food seperti kentang goreng, burger, kentucky, dan berbagai macam makanan instan yang beredar di segala penjuru manusia itu berada, seperti keripik, cokelat, mie instan, kornet, sosis, nuget, dan masih banyak yang lainnya. Jadi, pada awal tahun 1980-an, beberapa penelitian yang disponsori oleh badan-badan internasional seperti Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) yang berpusat di Quebec, Kanada, mengembangkan tren baru yang menyatukan konsep-konsep seperti gizi dan keberlanjutan untuk menciptakan konsep pola makan berkelanjutan. Menurut FAO, pola makan berkelanjutan adalah pola makan yang mengurangi dampak lingkungan, melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem, mendorong gaya hidup sehat, dan mencukupi kebutuhan nutrisi.

Tetapi, dalam beberapa dekade terakhir, laju masyarakat Barat yang semakin memusingkan justru berdampak sebaliknya: peningkatan konsumsi makanan olahan dan ultra-olahan, yang disebut makanan cepat saji, dan, singkatnya, kebiasaan makan yang tidak sehat yang jauh dari pola makan berkelanjutan yang diusulkan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui FAO. Menghadapi situasi ini, suara-suara telah disuarakan untuk menciptakan alternatif, seperti Real Food.

Yang sangat mengganggu pikiranku, maraknya food vlogger lokal yang FOMO atau kemrungsung rak ceto dengan cara mereka menganggap jenis dari real food yang sedang trending saat ini. Mereka sangat ketat terhadap makanan yang tidak boleh dimakan, cara masak yang tidak boleh ini itu dan seabrek aturan yang lainnya.

Mereka lupa—atau mungkin pengetahuannya seng terbatas—nenek moyang mereka adalah generasi sesunggunya akan penerapan real food di dunia ini. Bayangkan saja betapa kreatifnya dan betapa alaminya makanan nenek moyang kita yang sekarang mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan.

Ada bodin (singkong) yang bisa diolah menjadi berbagai macam jenis olahan makanan, tiwul, geblek, gatot, yang pemanisnya dari gula aren, gurihnya dari kelapa parut. Jagung yang dikreasikan jadi sego jagung, telo dan umbi umbian yang sangat bervariasi jenisnya. Sebelum nasi menggantikan makanan pokok asli nenek moyang kita. Kita adalah generasi yang seharusnya berkaca pada kebudayaan kita sendiri. Kenapa harus getun menyuarakan makanan yang katanya real food dengan jenis makanan yang berbau kebarat-baratan. Sedangkan kita begitu indah berada di timur dengan segala kebudayaan dan kekayaan alamnya.

Wong ada aja brokoli Cuma dikukus, wortel, kentang, kubis Cuma dikukus. Tinggal dibikin SOP kan enak. Menambahkan sedikit micin dan garam juga tidak masalah. Lah, ini real food-nya seperti tidak mensyukuri nikmat Tuhan dengan memakan makanan yang serba “anyep”, bahasanya wong yugjo.  

Adalagi salad-salad sayur, Caesar Salad misalnya, perkumpulan sayur-sayuran mentah yang disiram saus wijen yang rasanya kecut dan monoton. Kenapa tidak dibikin gado-gado saja? Lebih nikmat dengan siraman sambel kacang, dan tentunya tidak kalah sehatnya dengan caesar salad.

Kenapa orang-orang kita selalu bangga menunjukan gaya hidup ala barat—aku sengaja pakai b kecil—ngopi lebih memilih di kopesop bukan warung kopi, makan lebih enak di restoran bukan di warteg, burjo atau warung madura, parenting, hingga cara masak pun ala-ala barat.

Ooooiya, kan segala sesuatu yang memiliki harga mahal lebih bergengsi ketimbang yang murah atau biasa-biasa saja. Padahal mereka mahal karena bea cukai yang sedang viral dengan gaji dirjennya mencapai 43jt/bulan.

Ahhh sudahlah. Aku tetap cinta dengan gatot dan tiwul, lemet, dan nogosari yang sering dipandang sebagai makanan murah dan tidak ber-value untuk sebuah k.o.n.t.e.n.—Dea

 

 

 

 

Comments

Popular Posts